Arsitek diriku

Tia aku melihatmu dipelupuk kain, merajut benang demi benang yang dibelai runcing taring bermata dibawah berpisau diatas 

Hengkang hengkang gerak telapak tangan memutar si putih tanpa cat. Kemilau cahaya terpancar membias di atas keningmu merajut simpul sutra ditanganmu

Kemilau itu membelah melahirkan tetesan peluh kemenangan, sumur bermata air, danau bermata air bahkan gunungpun mempunyai mata air namun peluh keringt itu tak butuh mata menghadirkan air tia

Peluh melangkah menemanimu cerita kain, benang dan jarum itu menuai cinta terbuai dalam peluh 

Tangan membelai setiap sudut kain tanpa denotasi yang ditemani konotasi. Sisi jalanan pelupuk pagi itu menopang strategi dalam menjahit jubahku bahkan hidupku mampu kau rancang tia ibuku tercinta.




Batin Misteri

Butir hujan kau rumuskan butir padi kau tiriskan butir kacang kau cangkul butir tasbih kau hitung

uncle bola itu, kelabu ditiupkan ruh rasa, rasa merebus mendung pada bola itu seketika menggelinding pecah dicerca petir isakku

Bila kau hapus, butir itu kering butir itu tak terlihat namun membekas menceraikan luka tanpa betadin

Uncle aku tersuir aku tersayat aku teriris namun takkunjung tenggelam lantaran aku serpihan dagingmu dan kau uncleku.



Urat dan Nadi



Tujuh puluh tujuh hari yang lalu kau tersungkur menatap bongkahan laut nanah dimata kaki kadal bengis membusungkan dada di bukit palma lunas perahu prahara

Susunan senyum memekik longsor mulut pukat lokan-lokan mutiara yang lahir menyerbak tubuh gedung itu tergeletak tanpa urat nadi

Tujuh puluh tujuh hari kurangkai tujuh puluh karangan bunga tujuh keranda menuntaskan jejakmu di atas susunan senyuman bercumbu dengan detik dan detak menuai akhir labuhan

Pukat pekat bunga dan keranda lahir dalam wahana yang berbeda tetapi bergandengan di meja balok saat dijerat mahnet kolaborasi 







Menolak Bibir Dusta

Hijau putih merajam menggeliat disetiap genggaman, terotoar pipi mungil diraba bahkan dicekam seonggok debu dan angin

Pena disetubuhi palma, biduk hijau diendus kawah hitam bersenggama disetiap titik pukat merona kala itu

Licinnya laut dalam bibir melesat jauh merangkai melimpah taring-taring kepalsuan kala merangkai kata

Pena hijau hitam tempatku memupuk kata hidup dengan suara mendayu merayu disetiap indra 

Alas kehidupan kutiupkan bersama huruf yang lahir diujung janji pahat habis tinta mengalir kugoreskan hidup diujung kata dengan tinta yang serupa namun sesekali tak sama menelanjangi kedustaan.







Pesan

  Hilir pukat kental asin dilangit bergulir membentuk makna merangkul pesan Hitam kelabu remang itu menepi bak kumbang mengejar mawar cucur ...